Minggu, 12 Mei 2019

Berbekam Saat Puasa Menurut PBI


BAYAN MAJELIS SYURA
PERKUMPULAN BEKAM INDONESIA (PBI)

No: 001/B-K/MASYA/1438

TENTANG: HIJAMAH PADA SAAT BERPUASA

Mukadimah

بسم الله الرحمن الرحيم
Sebagaimana yang sudah sudah diketahui bersama bahwa hijamah atau hijamah merupakan bagian dari Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang didasarkan pada sekian banyak hadits shahih dari beliau. Karena itu mengamalkan hijamah adalah mengamalkan Sunnah Nabawiyah.

Alhamdulillah saat ini kesadaran ummat Islam untuk mengamalkan hijamah Sunnah sangat tinggi, baik dengan munculnya para pemhijamah ataupun mereka yang meminta hijamah, sampai ke taraf rutinitas mereka berhijamah, baik karena tujuan menjaga kesehatan atau karena untuk pengobatan penyakit, yang dalam hal ini mereka lakukan secara rutin, seminggu sekali, dua minggu sekali, tiga sekali, sebulan sekali dan seterusnya sesuai keadaan masing-masing.

Sementara itu, terjadi perbedaan pendapat antara tidak bolehnya hijamah pada saat berpuasa dan sebaliknya pendapat bolehnya hijamah pada saat berpuasa. Perbedaan di antara dua pendapat ini sudah terjadi sejak zaman shahabat, para ulama, imam madzahib dan para ulama masa kini. Sehingga hal ini dapat membingungkan ummat, antara boleh dan tidaknya hijamah pada saat berpuasa, sah tidaknya puasa karena melakukan hijamah.

Dua Hadits Muta’aridhain.

Perbedaan pendapat ini bermuara dari dua hadits yang tampaknya muta’aridhain (saling bertentangan), yang kedua-duanya sama-sama dengan sanad yang shahih dan dengan beberapa perbedaan dari sisi afdhaliyyah sanad dan perbedaan rawi.

Hadits Pertama tentang batalnya puasa karena hijamah:
عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ» (ابن ماجه 1680 و ابوداود: 2367، صححه الشيخ ناصر الدين الالباني)

Artinya: “Dari Tsauban, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang yang memhijamah dan yang dibakam harus membatalkan puasanya.” (Diriwayatkan Ibnu Majah, 1680; Abu Daud, 2367 dan dishahihkan Syaikh Nashiruddin Al-Albany).

Hadits kedua tentang tidak batalnya puasa karena hijamah:

[ ] عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: «احْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ صَائِمٌ» (البخاري، 1938، 1939، 5694)
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, “Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah meminta hijamah ketika beliau sedang berpuasa.” (Diriwayatkan Al-Bukhary, 1938, 1939, 5694).

Perbedaan Pendapat di Kalangan Shahabat, Para Imam, Tabi’in dan Ulama.

Para shahabat saling berbeda pendapat tentang hal ini. Yang menyatakan pendapat pertama adalah Syaddad bin Aus, Tsauban dan Abu Hurairah. Mereka inilah yang meriwayatkan hadits pertama dengan matan di atas.

Ibnu Umar pernah hijamah siang hari saat puasa, lalu meninggalkannya dan hijamah malam hari. Begitu pula yang dilakukan Abu Musa, Sa’d dan Zaid bin Arqam dan Ummu Salamah sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Shahihul-Bukhary Babul-Hijamah wal-Qai’ lish-Sha’im (bab hijamah dan muntah bagi orang yang berpuasa).

Para shahabat yang menyatakan pendapat kedua bahwa hijamah tidak membatalkan puasa adalah Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Ummu Alqamah menuturkan, “kami pernah hijamah saat puasa dan di sana ada Aisyah, namun beliau tidak melarangnya. Ja’far bin Abi Thalib pernah hijamah saat puasa Ramadhan lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarangnya. Tapi melihat semangat para shahabat untuk berhijamah, maka kemudian beliau memberikan rukhshah.

Di antara para shahabat ada juga yang tidak suka berhijamah pada siang hari saat puasa, atau dalam bahasa fiqihnya memakruhkan, tidak mengharamkannya, namun mereka meminta hijamah pada malam hari saat berpuasa. Mereka adalah Anas bin Malik, Abu Sa’id Al-Khudry, Sa’d bin Mu’adz, Zaid bin Arqam dan Ummu Salamah. Maka ketika Anas bin Malik ditanya,
: أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ؟(Apakah kamu sekalian para shahabat tidak menyukai hijamah bagi orang yang sedang berpuasa?)
قَالَ: لا، إِلا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ)(Dia menjawab, “Tidak. Hanya saja kami khawatir akan membuat tubuh jadi lemah”)

Abu Sa’id al-khudry juga berkata, إِنَّا كَرَهْنَا الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ (Kami memakruhkan hijamah bagi orang yang berpuasa karena khawatir akan membuat tubuh menjadi lemah).

Dari kalangan tabi’in dan para imam yang menyatakan pendapat pertama adalah Al-Imam bin Hambal, Al-Hasan Al-Bashry, Ibnu Sirin dan Ibnu Taimiyyah. Al-Imam Ahmad bin Hambal dan lain-lainnya menuturkan bahwa penduduk Bashrah menutup klinik-klinik hijamah mereka jika memasuki bulan Ramadhan. Namun klaim tentang kebiasaan penduduk Bashrah ini dirasa aneh. Sebab Anas bin Malik adalah shahabat terakhir yang meninggal di Bashrah. Lalu bagaimana mungkin mereka tidak mengambil hadits darinya tentang rukhshah dan tidak batalnya puasa, dan mereka mengambil pendapat yang berbeda?

Ulama mazhab Hanbali berpendapat berhijamah membatalkan puasa, termasuk Ibnu Taimiyyah. Syaikh Muhammad bin Utsaimin Allahu yarhamuh wa wassa’a qabrah menyatakan di dalam Fatawa ‘alad-Darb tentang batalnya puasa karena hijamah.

Semantara itu mayoritas fuqoha mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i berpendapat bahwa hijamah tidak membatalkan puasa. Al-Imam Asy-Syafi’y saat di Baghdad menyatakan batalnya puasa dan ini merupakan qaulul-qadim. Namun saat di Mesir beliau mempunyai qaulul-jadid (pendapat baru) bahwa hijamah tidak membatalkan puasa.

Hujjah Masing-masing Pendapat

Kedua hadits sama-sama shahih dan dengan sanad yang kuat. Batalnya puasa karena hijamah berhujjah kepada hadits Tsauban, Abu Hurairah dan Syaddad bin Aus dengan mengabaikan hadits Ibnu Abbas, tanpa melihat waktu periwayatan kedua hadits.

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam , ‘Penghijamah dan orang yang dihijamah batal puasanya’, merupakan nash yang mengharuskan pembatalan puasa bagi keduanya, sehingga tidak boleh diyakini tentang keabsahan puasa keduanya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberitahukan keduanya untuk membatalkan puasa, apalagi pemberitahuan ini bersifat mutlak yang disertai dengan penyerta yang menunjukkan bahwa memang itulah maksudnya.

Hujjah Syaikh Muhammad bin Utsaimin: Pendapat yang menyatakan bahwa hijamah membatalkan puasa merupakan pendapat yang paling sesuai dengan hikmah, karena ketika darah yang dikeluarkan dari orang yang sedang dihijamah cukup banyak, maka hal itu akan membuat tubuhnya menjadi lemah, loyo dan kepayahan. Karena itulah jika ada orang yang meminta hijamah, saya katakan kepadanya, “Batalkan puasamu, makanlah, minumlah.” Maka tidak kami katakan kepadanya bahwa hijamah diperbolehkan saat puasa. Bahkan kami katakan secara tegas, hijamah tidak boleh dilakukan saat puasa. Namun ketegasan pendapat beliau ini fleksibelkan dengan menyatakan bahwa jika seseorang terpaksa meminta hijamah karena darah yang bergejolak sehingga dikhawatirkan kebinasaan kematian atau bahaya lain, maka boleh dihijamah. Bahkan saat itu pula dia boleh makan minum.

Al-Baghawy menjelaskan bahwa sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam: أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ artinya berpotensi dan mendorong batalnya orang yang dihijamah karena makan/minum. Sedangkan tentang pemhijamahnya, kemungkinan besar darah akan masuk ke dalam tubuhnya saat menyedot darah (dengan mulut).

Hujjah kemakruhan hijamah bagi orang yang berpuasa sudah dijelaskan di atas seperti yang dinyatakan Anas bin Malik dan Sa’id Al-Khudry.

Mereka yang menyatakan bahwa hijamah tidak membatalkan puasa berdalil dengan hadits yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan hijamah ketika sedang ihram dan ketika puasa.

Ath-Thahawy menjelaskan bahwa maksud batalnya puasa ini bukan seperti batalnya puasa karena makan dan minum serta jima’ tapi karena pahala keduanya yang gugur disebabkan perbuatan mereka berdua yang melakukan ghibah saat sedang hijamah. Pendapat ini didasarkan pada riwayat Al-Wahadzy, dari Yazid bin Rabi’ah, dari Abu Al-Asy’ats Ash-Shan’any, dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Penghijamah dan orang yang dihijamah batal puasanya’, karena keduanya menggunjing orang lain. Ibnu Khuzaimah menanggapi, takwil seperti ini aneh. Haditsnya dha’if. Sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

Dalam Ikhtilaful-Hadits, mulhaq dari kitab Al-Umm, Al-Imam Asy-Syafi’y menyatakan bahwa hadits Ibnu Abbas terjadi pada Hajjatil-Wada’ pada 10 Hijrah. Sedangkan hadits Tsauban pada saat Fathu Makkah, atau 2 tahun sebelumnya. Karena keduanya sama-sama shahih, kuat, maka hadits Ibnu Abbas bisa jadi nasikh (menghapus) dan hadits Tsauban mansukh (terhapus status hukumnya). Isnad keduanya juga sama-sama kuat. Namun hadits Ibnu Abbas lebih ideal. Amtsal. Dalam hadits Ibnu Abbas juga dapat dilakukan qiyas bahwa batalnya puasa bukan karena pertimbangan apa yang keluar dari tubuh. Kecuali jika yang dikeluarkan secara sengaja dari tubuhnya karena muntah. Namun sebagai kehati-hatian, aku lebih suka menghindari hijamah saat puasa, karena karena khawatir tubuh menjadi lemah, lalu mendorong makan atau minum.

Karena itulah Babul-Hijamah wal-Qai’ lish-Sha’im dalam kitab Shahih Al-Bukhary mengandung pesan tersendiri bahwa batalnya puasa bukan karena pertimbangan apa yang keluar tapi karena apa yang masuk ke dalam tubuh. Artinya, hijamah yang mengeluarkan darah dan muntah (secara tidak disengaja) yang mengeluarkan muntahan tidak membatalkan puasa.

Kesimpulan dam Saran:

1. Banyak orang yang sudah rutin hijamah, baik untuk menjaga kesehatan atau karena sakit. Sehingga berat bagi mereka untuk meninggalkan hijamah selama sebulan.
2. Hijamah tidak membatalkan puasa termasuk puasa wajib berdasarkan hadits Ibnu Abbas. Artinya, hadits Ibnu Abbas yang datang lebih akhir bisa distatuskan sebagai nasikh bagi hadits Tsauban yang mansukh datang lebih awal.
3. Para shahabat ada yang meminta hijamah siang hari saat puasa ada yang melakukannya malam hari.
4. Menghindarkan hijamah saat puasa lebih baik jika diperkirakan akan membawa dampak pembatalan puasa karena makan minum akibat badan lemas.
5. Berarti kuncinya bagaimana praktik hijamah dilakukan secara aman. Karena itulah ada tata-caranya, ada tahapannya, ada jumlah titiknya, ada rentang waktunya, ada pertimbangan kasus perkasus.
6. Jika hijamah dilakukan oleh ahlinya dan mengedepankan ikhtiiyath, in syaa Allah hijamah tetap aman dilakukan walau terhadap orang yang berpuasa.
7. Kalaulah hijamah harus dilakukan pada saat puasa, maka sebaiknya dilakukan pada pagi hingga siang hari ketika tubuh al-mahjum masih fit. Kalaulah diperkirakan dia tidak kuat dihijamah saat puasa, maka sebaiknya dilakukan pada malam hari.

Jakarta, 27 Sya’ban 1438 H.
Ketua Majelis Syura
Perkumpulan Hijamah Indonesia (PBI)

Ttd

USTADZ KATHUR SUHARDI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar